Urgensi Pendidikan Karakter Sebagai Investasi Pembangunan Masa Depan Bangsa
Abstrak
Tulisan ini menje¬laskan betapa pen¬ting-nya Pendidikan Ka¬rakter yang harus diba-ngun sejak usia dini, dimana masa tersebut merupakan masa keemasan bagi anak un-tuk dapat dibe¬rikan stimulus da¬lam pendidi¬kan, pembelajaran, pe¬mahaman ser¬ta pem¬¬ben¬tukan karak¬ter yang nan¬tinya a¬kan men¬ja¬di modal u¬tama dalam diri me-reka dimasa yang a¬kan da¬tang. Anak me¬ru-pakan gene¬rasi se¬¬lanjutnya yang akan memper¬ju¬ang¬kan dan memper¬ta¬han¬kan bangsanya, de¬ngan demikian ten¬tunya sa-ngat penting ba¬gi semua ele¬men masya¬ra-kat bertanggung jawab dalam men¬cip¬takan generasi harapan bangsa yang ber¬kualitas dan berkarakter.
Untuk membangun suatu peradaban yang lebih baik dan maju, tentunya bukan-lah hal yang mudah. Dibutuhkan keseriusan dan konsistensi serta kesadaran bersama dalam mendukung proses pendidikan yang dijalankan oleh generasi bangsa. Maka dengan demikian pendidikan anak usia dini harus dibagun dan direncanakan dengan suatu pola pendidikan yang terencana secara sistematis serta terorganisir dengan baik. Sehingga proses pendidikan dapat berjalan secara berkesinambungan dan terus hingga sang anak dewasa, proses ini bukanlah hal yang mudah untuk dilak¬sa-nakan namun juga bukanlah hal yang sulit. Dimana proses pembentukan masa depan bangsa ten¬tu¬nya akan membu¬tuhkan wak-tu serta perjuangan yang saling terkait anta¬ra elemen masyarakat. Kesa¬daran dan ke¬ma¬uan yang tinggi akan membantu mem¬per¬mudah proses pendi¬dikan anak sebagai generasi masa depan bangsa.
Dalam tulisan ini pula akan dijelaskan apa yang dimaksud dengan pendidikan ka-rakter, pendidikan pada anak usia dini dan pendidikan untuk pembangunan masa de-pan bangsa. Ketiga unsur tersebut yang akan penulis angkat dan kemukakan seba-gai dasar pemikiran yang nantinya sampai pada kesimpulan bahwa semua itu akan berkontribusi positif bagi bangsa Indonesia.
Pendahuluan
Dekadensi moral yang terjadi saat ini, membuat keresahan berbagai kalangan dan khususnya dunia pendidikan. Terjadi-nya pergeseran pemahaman dan pengetahuan akan eksistensi diri anak. Pendidikan karak¬ter merupakan suatu usaha untuk mem¬bantu perkembangan jiwa anak-anak yang nantinya akan menjadi generasi penerus harapan bangsa. Pendidikan karakter yang ditanamkan sejak dini merupakan usaha yang dilaksanakan secara maksimal, dimana pada masa inilah anak-anak akan mampu belajar dengan cepat dan memahami secara utuh (kaffah), yang akan menjadi modal untuk tumbuh kembangnya kelak. Dengan adanya penguatan pendidikan karakter ini diharapkan gerakan pendidikan di bawah tanggung jawab satuan pendidikan untuk memperkuat karakter peserta didik melalui harmonisasi olah hati, oleh rasa, olah pikir, dan olah raga dengan pelibatan dan ker-jasama antara satuan pendidikan keluarga, dan masyarakat sebagai bagian dari Gera-kan Nasional Revolusi Mental (GNRM).
Fitrah manusia adalah mencintai kebe-naran dan mencari kebenaran, namun te-lah diketahui bersama manusia bukan saja mahluk individual, melainkan pula sebagai makhluk yang bermasyarakat (social ani-mal). Sehingga apa yang terjadi didalam diri anak manusia akan berdampak dan berpengaruh dalam kejiwaan diri anak. Segala yang mereka ketahui dari penga¬la-mannya akan menjadi sumber pengeta¬hu-an, secara perlahan anak akan memak¬si-malkan segala potensi yang dimilikinya. Se-makin banyak pengetahuan yang dimili-kinya akan meningkat pula intelektualitas dan pemahaman akan eksistensi dirinya sebagai manusia.
Pendidikan karakter merupakan proses berkelanjutan dan berkesinambungan yang tidak akan pernah berakhir, dimana terda¬pat prinsip “long life education”, apa yang terjadi dan dipahami oleh manusia akan terus meningkat sejalan dengan pengetahu¬an yang dimilikinya. Proses perbaikan dan evaluasi diri akan menghasilkan perbaikan kualitas yang berkesinambungan yang di¬tu¬jukan pada pemahaman eksistensi diri de¬ngan terwujudnya sosok generasi bangsa yang memahami tentang teori dan konsep nilai serta melaksanakannya hingga menjadi kebiasaan (habit) dalam diri. Pendidikan ka¬rakter harus menumbuh kembangkan ni-lai-nilai filosofis dan mengamalkan seluruh ka¬rakter bangsa secara utuh (kaffah) dan me¬nyeluruh, sehingga anak-anak yang telah dididik sejak usia dini dengan baik dan be¬nar akan menjadi harapan bangsa yang ber¬karakter. Bangsa yang memiliki karakter a¬da¬lah bangsa yang memiliki identitas yang tidak mudah dijajah oleh bangsa lain.
Pembahasan
I. Pendidikan Karakter
Sebelum membahas apa yang dimaksud dengan Pendidikan Karakter, penulis akan mendefinisikan terlebih dahulu terminologi yang berhubungan dengan Pendidikan dan Karakter. Kata yang pertama adalah Pendi-dikan dan penulis akan berusaha menja-barkan apa yang dimaksud dengan Pendi¬di-kan.
Pengertian “Pendidikan” yang tertuang dalam Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 merupakan penyempurnaan dari pengertian pendidikan pada undang-undang sebelumnya. Pendidikan dijelasakan dalam UUSPN 20 Tahun 2003 pada Bab 1 berbunyi:
Pendidikan adalah usaha sadar dan te-ren¬cana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi di¬ri¬nya untuk memiliki kekuatan spiritual ke¬aga¬maan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta kete¬ram¬pilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Definisi “Pendidikan” dalam kamus Ba-ha¬sa Indoensia, berasal dari kata didik yang mendapatakan imbuhan “Pen” dan akhiran “an”. Kata tersebut dijelasakan da¬lam Ka-mus Besar Bahasa Indonesia (KBBI):
“Proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usa¬ha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perubuatan mendidik”
Pengertian ini dapat memberikan kesan bahwa pendidikan merupakan proses atau cara mengajar dalam melakukan sesuatu perbuatan dalam membuat perubahan di-dalam diri peserta didik. Proses pendidikan ini merupakan suatu cara mengajar, maka didalam pendidikan dibutuhkan pengajaran yang merupakan suatu tindakan atau per-buatan yang dilakukan pendidik dalam men¬didik peserta didiknya, sehingga dapat men¬capai tujuan pendidikan yang tertuang da¬lam UUSPN tersebut. Dalam Bahasa Inggris Pendidikan diterjemahkan dengan kata education, sedangkan kata pengajaran di¬gu¬nakan dengan kata teaching. Secara se¬mantik (kebahasaan) dari kata pendidikan, pengajaran (education atau teaching) seba¬gaimana disebutkan jika diperhatikan seca¬ra seksama, nampak bahwa kata-kata terse-but lebih menunjukkan pada suatu kegiatan atau proses yang berhubungan dengan pem¬binaan yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain.
Masih dalam pengertian kebahasaan, ka¬ta pendidikan juga dapat dijumpai dengan kata tarbiyah dalam bahasa Arab. Pendidikan dari sudut pan¬dang Islam disebut at-Tarbiyah, se¬cara harfiah kata tarbiyah berasal dari akar kata robbaya menjadi robba kemu¬dian ditasrif (infinitif) menjadi ‘yurabbi’ dan ‘tarbiyatan’ atau ‘tarbiyah’ (baca¬an/ucapan huruf waqof). Dalam kamus popular bahasa Arab, seperti kamus ‘al-Misbah al-Munir (Kamus klasik yang menjadi rujukan ahli-ahli tafsir Qur’an), dan Mukhtar ash-Shihah (kamus muta¬khir yang sering menjadi referensi), ser¬ta al-Munjid, menulis pengertian rabba dalam berbagai versi dengan dua pe¬nger-tian. Pertama dalam pengertian pengasuh dan kedua dalam pengertian pemberian makanan. Naquib al-Attas berpendapat bahwa kata yang paling tepat untuk mewakili kata pendidikan adalah kata ta’dib, semetara Tarbiyah dinilainya terlalu luas, yakni mencakup pendidikan untuk hewan. Sedangkan kata ta’dib sasaran pendidikannya ada¬lah manusia.
Berdasarkan pengertian di atas maka penulis mengsintesiskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana yang dilakukan oleh orang dewasa dalam mem-bimbing dan mengarahkan kepada anak didiknya dari yang tidak tahu menjadi tahu, yang tidak paham menjadi paham, yang tidak mengerti menjadi mengerti sehingga mencapai pemahaman secara menyeluruh untuk modal dalam kehidupan anak didik kelak.
Setelah membahas apa itu pendidikan, yang kedua penulis akan membahas apa itu “karakter”. Dalam tulisan ini penulis hendak menjelaskan secara singkat masing-masing arti kata yang merupakan kajian dalam tu¬lisan ini. Kata karakter dalam KBBI mengan¬dung arti: bawaan, prilaku, personalitas, si¬fat, tabiat atau ciri, karakteristik, keuni¬kan. Wynne (1991) mengemukakan bah¬wa karakter berasal dari Bahasa Yunani yang berarti “to mark” (menandai) dan memfokuskan pada bagian mana menerap¬kan nilai-nilai kebaikan dalam tindakan nyata atau prilaku sehari-hari. Sejalan de¬ngan pengertian karakter yang sebe¬lumnya telah disebutkan, Dirjen Pendidikan Agama Islam Kementrian Agama Republik Indone¬sia mengemukakan bahwa karakter (charac-ter) dapat diartikan sebagai totalitas ciri-ciri pribadi yang melekat dan dapat diiden¬ti-fikasi pada perilaku individu yang bersifat unik, dalam arti secara khusus ciri-ciri ini membedakan antara satu individu dengan perilaku yang lainnya. Karena ciri-ciri karak-ter tersebut dapat diidentifikasi pada peri-laku individu dan bersifat unik, maka karak-ter sangat dekat dengan kepribadian indi-vidu.
Dengan demikian kata karakter berda-sarkan definisi sebelumnya erat hubu¬ngan-nya dengan kepribadian seseorang yang melekat dalam diri manusia tersebut, yang menjadikan dirinya unik dan berbeda de-ngan manusia lainnya. Seorang yang berke-pribadian tersebut adalah seseorang yang menghargai nilai-nilai moral sehingga men-ja¬di karakter dalam dirinya, seseorang yang memiliki karakter dalam dirinya akan memi-liki etika dan moral yang baik. Namun tidak semua perilaku baik yang dimiliki sese-orang, menjamin seseorang tersebut memi¬liki karakter yang sadar menghargai pen¬ting¬nya nilai-nilai kaidah moral. Hal ini da¬pat dimungkinkan apa yang diperbuat dan dilakukan seseorang tersebut bukan dida¬sari dari kesadaran dan pemahaman yang utuh dalam mengenal dirinya, perbuatan yang didasari oleh rasa takut atau kepen¬tingan lainnya itu bukan karena tingginya penghargaan akan nilai-nilai karakter. De¬ngan demikian seseorang tersebut belum dikatakan berkarakter sekalipun bertindak dan bersikap baik.
Lalu apa yang dimaksud dengan Etika dan Moral, untuk membedakan kata yang sering dianggap sama dalam berbahasa. Is-til¬ah Etika berasal dari bahasa Yunani kuno yang sudah mulai dibicarakan ketika masa Socrates (469-399 SM), Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (394-322 SM) disamping Stoich dan Epicures. Karl Barth berpen-dapat Etika berasal dari ethos yang meru-pakan bentuk tunggal yang bisa memiliki banyak arti baik tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, watak, perasan, sikap dan cara berpikir yang sebanding dengan moral dari kata mos. Bentuk jamaknya adalah ta etha yang be¬rarti adat kebiasaan atau sitten. Kata Etika jika ditinjau dari sudut pandang episti-mologi, maka etika dapat diartikan sebagai ajaran tentang baik dan buruk, benar dan salah yang dilakukan dalam kehidupan manusia. Etika merupakan konsep-konsep yang berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan manusia dalam kerangka pemi¬kiran, adat, kebiasaan dan prilaku sese¬orang dari lingkungan budaya tertentu.
Franz Magnis Suseno menyebutkan etika sebagai ilmu yang mencari orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab perta¬nya¬an yang amat fundamental, “Bagaimana ma¬nu¬sia harus hidup dan bertindak?” Untuk memahami lebih dalam apa yang terkait dengan standarisasi yang termasuk didalam. Etika adalah bagaimana manusia itu mencintai terhadap sesama manusia bukan cinta pada keinginan sendiri, karena suatu perbuatan yang didasari atas keingi¬nan atau kepentingan untuk diri sendiri, mencintai sesama manusia dengan mema¬nusiakan manusia dengan didasari cinta kepada Tuhan yang menciptakan semua mah¬kluk di bumi. Dengan kata lain adalah mencintai semua yang diciptakan Tuhan dengan ketulusan hati bukan kepentingan pribadi atau golongan, bukan pula karena hawa nafsu atau kebanggaan, fanatisme kekeluargaan atau kesukaan.
Selain etika ada juga moral yang sering diungkapkan dengan maksud yang sama, lantas apa yang dimaksud dengan moral. Kata moral dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Latin yaitu mores yang diartikan adat kebiasaan. Kata mores ini mempunyai sinonim mos, moris, manner mores, atau manners, morals. Kata moral berarti akhlak atau kesusilaan yang mengandung makna tata tertib batin atau tata tertib hati nurani yang menjadi pembimbing tingkah laku batin dalam hidup. Moral merupakan do-rongan dalam diri seseorang untuk mela-kukan sesuatu yang berkaitan dengan prinsip-prinsip nilai dan etika yang berlaku. Seseorang yang memiliki moralitas tentunya mengetahui akan standar nilai yang berlaku dan diyakini dirinya, sehingga dapat mem¬be¬dakan baik dan buruk, benar dan salah, patut dan tidak patut. Pada dasarnya setiap manusia memiliki fitrah yang sama, yaitu memiliki kecintaan terhadap kebenaran dan selalu mencari kebenaran. Semakin besar dorongan untuk mengetahui akan nilai dari kebenaran maka seseorang tersebut akan memiliki moralitas yang baik.
Moral dan etika selain memiliki konotasi maknanya yang sangat dekat, namun tetap memiliki perbedaan. Kedua kata tersebut sering diidentikkan dengan kata akhlak, te-tapi terdapat penekanan dalam memahami kata tersebut, moral dapat dihubungkan de¬ngan kesusilaan atau perilaku susila, se-hingga moral berada dalam tataran tera-pan. Sedangkan etika masih dalam tataan konsep atau pengetahuan. Moral meru¬pa-kan suatu perbuatan pratiktal dari penja-baran tentang etis atau tidak etis, manu-siawi atau tidak manusiawi. Jika seseorang memiliki moral yang baik dalam menja-lankan kehidupannya, ia mampu mema¬nu-siakan manusia, maka seseorang tersebut dapat dikatakan bermoral. Sebaliknya jika seseorang mengetahui tentang konsep dan nilai-nilai etika, namun dalam bersikap dan bertingkahlaku tidak mampu membedakan yang baik dan buruk, benar dan salah sehingga tidak dapat memanusiakan manu¬sia maka seseorang tersebut amoral. Berda¬sarkan definisi yang sudah dipaparkan maka dapat dikatakan bahwa Pendidikan Karakter membutuhkan aspek perasaan (emosional), kecerdasan emosional pada diri manusia agar mampu mengarahkan sikap dan ting¬kah-laku manusia menjadi berkarakter.
Lickona menyebutkan “desiring the good” atau keinginan untuk melakukan ke-ba¬jikan. Dalam hal ini ditegaskan bahwa pen¬didikan karakter yang baik harus meli-batkan bukan saja aspek “knowing the good”, tetapi juga “desiring the good” atau ”loving the good”, sehingga manusia tidak berperilaku seperti robot yang diindok-trinasi oleh paham tertentu.
Ketiga komponen yang jelaskan oleh Lickona sangat penting untuk dipahami agar memiliki karakter yang baik (components of good character), yang dimaksud dengan moral knowing berkaitan dengan moral awereness, knowing moral values, pers¬perctive talking, moral reasoning, decision making dan self-knowledge. Moral feeling berkaitan dengan conscience, self-esteem, empathy, loving the good, self-control dan humanity; sedangkan moral action merupa¬kan perpaduan dari moral knowing dan moral feeling yang terwujudkan dalam bentuk kompetensi (competence), keingi¬nan (will), kebiasaan (habit). Dari ketiga komponen tersebut di atas merupakan indi¬kator yang harus diperhatikan dalam pendi¬dikan karakter, sehingga anak didik yang akan diberikan pendidikan, pengajaran, pe¬ma-haman tentang dirinya dalam kehidupan mampu menyadari tentang nilai-nilai keba-jikan secara utuh dan menyeluruh.
Pendidikan karakter sesungguhnya su-dah ada sejak dahulu kala, dalam perspektif Islam pendidikan karakter secara teoritik sebenarnya telah ada sejak Nabi Mu¬hammad SAW diutus ke muka bumi ini untuk menyempurnakan akhlak manusia. Pemahaman tentang ajaran Islam tidak ha¬nya terfokus pada permasalahan aqidah, ibadah dan mu’amalah, melainkan hal yang tidak kalah penting adalah ajaran tentang akhlak. Akhlak tidak hanya memahami seni dalam kehidupan yang mengajarkan ten¬tang cara hidup bahagia atau bagaimana mendapatkan kebahagian. Namun akhlak merupakan ilmu pengetahuan yang harus dipelajari dan dipahami dengan benar se¬hingga dapat dilaksanakan dan diamalkan dalam kehidupan sehingga dapat menjadi bukti kualitas keimanan seorang hamba.
Ibnu Miskawaih dalam bukunya Tahzibul Akhlak, al-Farabi dalam Tahshilus Sa‘adah, dan al-Amiri melalui as-Sa‘adah wa al-Is‘ad-nya menjelaskan bahwa akhlak yang baik adalah salah satu cara untuk mendapatkan kebahagian, karena memang kebahagian merupakan tujuan utama akhlak. Dalam mengartikan akhlak sudah banyak para il¬mu¬wan yang mendefinisikannya, seperti al-Ghazaly mengartikan akhlak sebagai “Sifat yang tertanam dalam jiwa yang menim¬bulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan atau tanpa dihitung resikonya” dan juga Ibnu Miska-waih menjelaskan bahwa “Sifat yang ter-tanam dalam jiwa yang mendorongnya un¬tuk melakukan perbuatan tanpa memer¬lukan pemikiran dan pertimbangan”
Pada hakikatnya Pendidikan karakter (Pen¬didikan Akhlak) adalah proses pendi-dikan yang menanamkan nilai-nilai etika ser¬ta moral, hingga pada akhirnya akan men¬jadi kebiasaan (habit) yang terpatri da-lam diri generasi bangsa, sebagai anak bang¬sa yang akan melanjutkan perjuangan dan masa depan bangsa lebih baik lagi serta memiliki identitas kebangsaan yang dapat mengharumkan nama bangsa. Proses pen-didikan karakter yang dilaksanakan secara sistematis dan terorganisir memiliki maksud dan tujuan, untuk menciptakan generasi bang¬sa yang memiliki karakter. Pendidikan karakter bangsa di Indonesia telah ber¬lang¬sung jauh sebelum Indonesia merdeka. Ki Hajar Dewantara yang dinobatkan sebagai Pahlawan Pendidikan Nasional memiliki pan¬dangan tentang karakter sebagai Asas Taman Siswa 1922 dengan tujuh prinsip sebagai berikut:
1. Hak seseorang untuk mengatur diri sen-diri dangan tujuan tertibnya persatuan dalam kehidupan umum.
2. Pengajaran berarti mendidik anak agar merdeka batinnya, pikirannya, dan tena¬ganya.
3. Pendidikan harus selaras dengan kehi-dupan.
4. Kultur sendiri yang selaras dengan ko-drat harus dapat memberi kedamaian hidup.
5. Harus bekerja menurut kekuatan sendiri.
6. Perlu hidup dengan berdiri sendiri.
7. Dengan tidak terikat, lahir batin diper-siapkan untuk memberikan pelayanan kepada peserta didik.
Dalam asas pendidikan Taman Siswa yang didirikan oleh bapak pendidikan na-sional ini, bermaksud ingin mendidik manu-sia Indonesia menjadi manusia yang seutuh¬nya (kaffah), dengan harapan para generasi bangsa selanjutnya dapat hidup mandiri, efektif, efisien, produktif dan akuntabel.
Harapan yang dimiliki oleh Ki Hajar Dewantara bukanlah hal yang mudah untuk di praktikkan, dibutuhkan kerjasama dalam proses mendidik generasi bangsa, pembe-kalan dasar-dasar kehidupan agar memiliki kesadaran, pemahaman, kepedulian dan ko¬mitmen yang tinggi, sehingga dapat ter-wujudnya masyarakat yang aman dan da-mai.
II. Pendidikan Anak Usia Dini
Proses pendidikan anak usia dini meru-pakan bagian yang sangat penting dalam pendidikan Islam, pendidikan anak dalam Islam yang disebut dengan Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam. Proses pendidikan di-ma¬sa usia dini terhitung dari 0-6 tahun, se-dangkan pada pendidikan Islam proses pen¬didikan anak dimulai bukan pada ren-tang 0-6 tahun namun dimulai pada ikatan pernikahan kedua orang tuanya.
Hubungan orang tua dalam ikatan suami dan istri yang akan membuahkan dan me-nghasilkan anak yang baik dan ber-kualitas. Pada proses menjalani hubungan keluraga ini maka pemahaman suami dan istri harus berlandasakan pendidikan agama, sehingga dalam proses pendidikan anak sejak dini akan dapat menghasilkan generasi yang da¬ya guna dan berlandaskan aqidah Isla¬mi¬yah.
Dalam hal ini orang tua harus me¬ma-hami peranannya sebagai pembimbing di-dalam mendidik, tentunya akan menje¬las-kan dan meningkatkan pendidikan anak pa-da masa perkembangnya. Sangat erat hubu¬ngannya kualitas pemahaman orang tua dalam hubungan berkeluarga, yang nanti¬nya akan berdampak dalam proses per¬kembangan anak yang akan dihasilkan, se¬hingga proses pendidikan anak akan ber-ja¬lan dengan optimal dan maksimal. Hubu-ngan keluaraga yang sehat dan memahami ajaran agama tentunya akan memper¬mu-dah proses pendidikannya, orang tua saling bahu-membahu dalam membina dan men-di¬dik anak-anak.
Dalam ajaran Islam pendidikan akan di-mu¬lai dari dalam keluarga yang memiliki peranannya masing-masing dalam membina dan memikul tanggung jawab, masing-ma¬sing keduanya (orangtua) akan saling me¬leng¬kapi dan menyempurnakan. Dalam pen¬didikan Islam ibu yang merupakan pendidik pertama dan utama dalam proses pendi¬dikan dan perkembangan anak-anaknya ba¬ik secara fisik, motorik, kognitif, sosial-emo¬sional, spiritual maupun bahasa dan lain¬nya. Maka sosok ibu haruslah memiliki kete¬ladanan dan memahami perannya sebagai pendidik yang pertama dan utama bagi anak-anaknya, Ibu yang akan menjalankan peran terpenting dalam pendidikan, se-hingga pada masa usia dini proses per-tumbuhan dan perkembangan anak akan mampu berkembang secara baik.
Tentu tepatlah sebuah pepatah yang me¬ngatakan bahwa ibu adalah sebuah se-kolah yang apabila engkau persiapkan dia, berarti engkau telah mempersiapkan suatu bangsa yang mempunyai dasar yang baik. Sehingga dapat dikatakan bahwa pendi¬di-kan Islam dimulai dari pendidikan keluarga yaitu pendidikan seorang ibu yang akan menciptakan generasi penerus bangsa yang memiliki dasar yang baik dan berkualitas. Ibu adalah sosok wanita yang akan mencip¬takan generasi penerus hendaklah selalu meningkatkan pengetahuan dan intelektual dirinya sehingga mampu menjadi pendidik yang pertama dan utama bagi anak-anak¬nya. Allah SWT telah menganugerahkan ke¬pada kedua orangtua rasa cinta untuk anaknya. Seperti yang telah diketahui bah¬wa hati kedua orangtua diberikan fitrah untuk mencintai anaknya dan tumbuh pera¬saan-perasaan kejiwaan yang akan mela¬tar-belakangi perkembangan dan pertumbuhan sang anak. Sehingga sudah jelaslah bahwa dalam pendidikan Islam peran orang tua dalam pendidikan anak dan partum¬bu¬han¬nya akan didominasi oleh peran serta kedua orangtua yang telah diberikan fitrah dan rasa cinta dalam mendidik dan membim¬bing anak-anaknya. Firman Allah SWT Q.S. 18:46
Artinya:
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan”
Fitrah yang Allah SWT berikan kepada manusia merupakan kewajiban dan tang-gung jawab untuk membesarkan, mendidik, memelihara dan memperhatikan anak-anak mereka dengan penuh kasih sayang dan cin¬ta sehingga mereka dapat tumbuh dan ber¬kembang dengan rasa kasih dan sayang tersebut. Fitrah ini merupakan anugrah yang tak terhingga dalam proses pendidikan dan perkembangan sang anak menuju per-kembangan kepribadian mereka dan sampai dewasa, proses pendidikan yang dipenuhi dengan rasa kasih dan sayang serta cinta akan berdampak pada kepribadian sang a¬nak. Karena semua yang dilakukan kedua orang tua terhadap anak-anaknya akan di¬per¬tanggung jawabkan pada masanya nanti.
Dekadensi moral saat ini terjadi karena lemahnya pendidikan keluarga. Didalam pen¬¬didkan Islam tanggung jawab terbesar bagi para pendidik dan orangtua dianta-ranya, adalah: Pendidikan Iman, Pendidikan Akhlak, Pendidikan Fisik, Pendidikan Inte¬lek¬tual, Pendidikan Psikologis, Pendidikan So¬sial, Pendidikan Seksual.
Yang dimaksud dengan Pendidikan Iman adalah bagaimana tanggung jawab terbesar bagi seorang pendidik untuk memberikan pemahaman dalam hal keimanan, pendi¬dikan iman adalah mengikat anak dengan dasar-dasar Iman, Rukun Islam dan dasar-dasar Syari’ah. Dimulai saat anak mulai me¬ngerti dan dapat mamahami sesuatu. Seca¬ra lugowi iman diartikan sebagai mem¬be¬narkan secara mutlak atau kepercayaan yang benar. Dalam al-Qur’an iman di¬ar¬tikan dengan iman kepada Allah dan iman kepada orang-orang mukmin sebagaimana pembicaraan saudara-saudara Nabi Yusuf AS terhadap orang tuanya.
•
Artinya: Dan engkau tidak percaya walaupun kami adalah orang-orang yang benar.
Pendidikan iman merupakan pendidikan paling dasar yang harus diketahui oleh sang anak pada masa usia dini. Ketika sang ibu mengandung, pendidikan iman ini sudah mu¬lai diajarkan oleh ayah dan ibunya, keti-ka dalam kandungan pendidikan iman dapat diajarkan dengan pembiasaan dan prilaku ibunya. Usia 0-6 tahun masa sang anak akan tumbuh dan berkembang sehingga dapat menghasilkan pengetahuan yang akan ber¬ke¬sinambungan hingga sang anak dewasa. Dengan dasar keimanan yang di miliki sang anak kiranya sang anak akan mencintai dan mengetahui Tuhannya dan menjadi gene¬rasi yang islami dengan dasar keimanan yang kuat.
Pendidikan Akhlak yang menjadi tang-gung jawab terbesar bagi pendidik dalam membimbing dan mengembangkan penge-tahuan sang anak, pendidikan akhlak meru-pakan pendidikan yang akan mengarahkan serta mendidik anak, menjadi anak yang bermoral dan berakhlak mulia. Sehingga kelak sang anak akan mampu memaksi¬mal-kan akal budi mereka sehingga sang anak bermoral dan beretika yang sesuai dengan apa yang telah diberikan oleh orang tuanya pada masa pertumbuhannya.
Dekadensi moral yang terjadi dewasa ini merupakan hasil dari pendidikan yang belum maksimal, pendidikan yang hendak-nya saling berkesinambungan antara trilogi pendidikan sehingga dapat terjalin komu-nikasi yang efektif dalam menciptakan gene¬rasi penerus bangsa yang bermartabat dan berakhlak mulia. Maka untuk mencip-tkan bangsa yang besar dan memiliki gene-rasi yang berkualitas, harus dipahami bahwa pendidikan akhlak merupakan pen-di¬dikan yang harus menjadi perhatian besar bagi para pendidik.
Pendidikan akhlak merupakan arah yang akan menjadikan pribadi yang berkarakter, apabila pendidik tidak membimbing dan mengajarkan bagimana cara bersikap dan berprilaku benar, maka tidak diragukan lagi bahwa secara berkala dan bertahap anak akan melakukan penipuan, pencurian dan pengkhianatan. Untuk itu para pendidik dan orangtua sudah seharusnya memper¬hatikan pendidikan akhlak dan mena¬nam¬kan akidah pada anak sedini mungkin. De¬ngan memberikan keteladanan yang baik, santun dalam berbahasa sampai dalam hal bergaul dan bersosialisasi dengan kawan se¬jawat. Selain keteladan pendidik dan o-rang¬tua harus mejelaskan kepada anka-anak akan sebab akibat yang akan mereka tang¬gung yang ditimbulkan dari kecero-bohan dalam bertingkah laku dan bersikap. Pada masa usia dini pula anak-anak harus di latih untuk tidak bersifat dan berprilaku hedonis, mereka harus diajarkan untuk bersikap peduli dan prihatin dengan kondisi dan keadaan sekitarnya.
Dalam pendidikan akhlak tidak diragu-kan bahwa keutaman-keutamaan moral, tabiat dan perangai salah satu buah dari pendidikan Iman yang mendalam, sehingga mejadikan pendidikan anak berkembang dengan spiritual dan religious yang benar. Jika dalam pendidikan anak, setiap anak tumbuh dan berkembang dengan berda-sarkan pada pijakan yang berlandaskan iman kepada Allah SWT dan terdidik untuk selalu bersikap dan bertindak benar, ten-tunya sang anak akan memiliki potensi dan respons secara instingtif didalam menerima sebuah keilmuan yang mulia dan terbiasa dengan melakukan akhlak mulia dalam ke-se¬harian dan berprilaku serta bertindak.
Pendidikan Fisik juga merupakan pendi¬dikan yang harus diberikan pada anak, pen¬di¬dikan fisik ini berhubungan dengan tum¬buh kembang sang anak sesuai gizi yang dikonsumsinya, dengan pendidikan fisik dan pemberian gizi yang baik dan benar akan menjadikan sang anak menjadi generasi yang sehat jasmani dan rohaninya sehingga mampu menjadi insan yang bermutu dan berkualitas. Dalam mengembangkan tum¬buh kembangnya anak, seorang pendidik hendaknya memberikan dan mencurahkan perhatian dan tanggung jawabnya secara me-nyeluruh dan optimal. Sehingga sang anak mampu dibina dan diarahkan dengan kondisi fisik yang baik dan sehat. Fisik meru¬pakan bagian yang sangat urgen, dengan sehat dan baiknya fisik sang anak tentunya dalam segala proses pendidikan akan mam¬pu memaksimalkan potensi yang dimili¬ki¬nya.
Pendidikan fisik ini tentunya berhubu-ngan dengan tugas ayah sebagai pemberi nafkah bagi keluarganya, nafkah yang dibe-ri¬kan oleh ayah akan menghasilkan anak yang diharapakan. Maka dalam pendidikan Islam dianjurkan untuk mencari nafkah yang halal sehingga mendapatkan keberkahan didalamnya dan tentunya akan berdampak pada perkembangan fisik sang anak. Harta yang halal tentunya akan menjadi jalan yang benar dalam perkembangan sang anak mulai dari usia dini hingga dewasa. Sangat erat hubungannya nafkah yang halal de¬ngan perkembangan fisik anak, didalam ajaran Islam nafkah yang halal akan meng¬hasilkan darah yang halal, bersih serta ber¬gizi, sehingga apa yang menjadi asupan makanan bagi sang anak akan berdampak pada diri sang anak dalam pertumbuhannya hingga dewasa kelak. Maka tugas ayah yang mencari nafkah untuk keluarganya sangat penting memperhatikan kehalalan dari apa yang dicarinya. Sehingga proses pendidikan fisik pada anaknya akan mudah diarahkan dan dibina dengan baik oleh para pendidik (orangtua ataupun guru). Sangat jelas diterangkan didalam ajaran Islam bahwa semua yang baik akan menghasilkan kebai-kan pula, maka perlu menjadi perhatian khusus terkait dengan cara dan proses men¬da¬patkan nafkah bagi sang ayah.
Pendidikan yang juga tidak kalah pen-tingnya, yang harus diberikan pada anak se¬jak masa usia dini adalah Pendidikan Intelektual. Pendidikan Intelektual ini sa-ngat penting, dikarenakan pendidikan ini merupakan pendidikan yang akan mening-katkan kecerdasan intelektual mereka. Pen¬didikan ini merupakan modal bagi sang a¬nak mana kala mereka dewasa kelak, de-ngan intelektual yang baik tentunya sang anak akan mampu menjawab dan menye-lesaikan tantangan kehidupan yang akan di¬ha¬dapinya.
Indikasi tentang perlunya pembinaan ntelektual tercermin dari pendapat Ibn Miskawaih bahwa manusia adalah makhluk yang punya keistimewaan yang berupa daya pikir. Manusia yang paling sempurna adalah mereka yang paling benar cara berpikirnya dan paling mulia usaha dan perbuatannya. Al-Qur’an yang tersimpul dalam ayat-ayatnya mengisyaratkan menggunakan akal pikiran, disamping ada juga ayat-ayat ten¬tang materi yang mengisyaratkan pengem¬bangan intelektual seperti ilmu hisab (mate¬matika), astronomi (perbintangan) dan lo¬gika (penalaran).
Pendidikan intelektual ini akan memben¬tuk dan membina cara berpikir anak, ilmu pengetahuan dan teknologi akan mereka pahami, cara berpikir yang positif akan men¬jadikan sang anak tumbuh dan ber¬kembang secara optimal. Cara berpikir yang baik dan berbudaya akan membantu men¬ciptakan generasi yang berbudaya dan ber¬moral. Setiap anak yang terlahir di dunia ini berhak mendapkan pendidikan yang layak dan bermutu sebagaimana amanah UUD 1945. Begitu pula dalam pendidikan agama, setiap anak berhak mendapatkan penge¬tahuan yang dibutuhkannya dalam rangka mendewasakan dan menjadi manusia yang berbudaya dan berintelektual. Untuk men-ciptakan generasi yang berpengetahuan luas, berbudaya dan berintelektual sangat dibutuhkan peran serta orangtua dan pen-didik dalam membina dan mengembangkan pendidikan intelektualnya. Pendidikan In¬te¬lektual merupakan pendidikan yang meng-optimalkan fungsi dari akal yang merupakan anugrah dari Allah SWT, dengan mem¬fungsikan akal secara efektif dan baik tentunya kita sudah mensyukuri anugrah yang diberikan Allah SWT kepada kita. Disinilah kita akan meningkatkan segala potensi akal yang menjadi salah satu sumber pengetahuan yang dapat meberi nilai secara objektif.
Pendidikan selanjutnya yang perlu men-jadi perhatian para pendidik dan orangtua adalah Pendidikan Psikologis. Pendidikan ini berhubungan dengan kejiwaan sang anak agar kecerdasan “sosial emosional” anak dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi yang dimiliki dalam diri sang anak. Pendidikan psikologis pada anak bertujuan untuk membentuk, menyem¬purnakan dan menyeimbangkan kepri¬ba¬dian pada diri anak. Anak yang tumbuh dengan pendidikan psikologis yang baik, akan mudah diterima dalam lingkungan per¬gaulan sehari-hari, dikarenakan sifat min¬der, sifat penakut, sifat rendah diri, sifat hasud dan sifat pemarah tidak ada dalam diri sang anak, kalau pun ada mereka mam¬pu mengontrol dengan kecerdasan sosial emosionalnya. Pendidikan psikologis meru¬pakan pembinaan dalam diri sang anak yang dimulai sejak dini, pendidikan yang dimulai pada saat anak dalam alam Rahim sampai anak tumbuh dan berkembang secara nalar logikanya. Anak yang terdidik dalam kecer-dasan sosial emosional ini akan mampu menyelesaikan segala permasalahan yang dihadapinya, mereka akan berani dan mengemukakan segala gagasan dan ide cemerlang dan baru.
Selanjutnya pendidikan sosial, pendi-dikan ini akan mengajarkan pada diri anak hubungan sosial dengan lingkungan seki-tarnya. Pendidikan sosial mengajarkan anak tentang kebiasaan agar terbiasa menja¬lan¬kan adab sosial yang baik dan dasar-dasar psikologis yang mulia yang bersumber pada akidah Islamiyah. Tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan ini merupakan pendi¬dikan yang merupakan tanggung jawab terpenting dari beberapa pendidikan yang sebelumnya telah kita ketahui bersama. Pendidikan sosial merupakan manifestasi perilaku dan watak serta karakter anak telah dididik oleh orang tua atau pun pen¬didik. Melalui pendidikan sosial, anak akan mampu menjalani hak-hak, tata-krama, kri¬tik sosial, keseimbangan intelektual, politik dan pergaulan serta hubungan yang baik dengan orang lain.
Dalam menciptakan anak-anak yang siap dengan segala kondisi yang ada, maka anak harus dipersiapkan sedini mungkin untuk menerima ketetapan eksperimental dan fak¬tual sehingga pertumbuhan dan perkem¬bangan anak mulai sejak dini akan mampu menjawab tantangan zaman yang kian pelik dan kompleks. Pendidikan sosial yang men¬ja¬dikan solusi dalam perkembangan dan pembinaan anak yang siap serta berdaya guna dan diterima oleh masyarakat dima¬napun meraka berada, sehingga pada saat¬nya nanti sang anak akan terbiasa dan terdidik dalam bergelut didalam kehidupan bersosial di masyarakat, meraka akan mem¬berikan gambaran yang benar tentang insan yang sempurna, seimbang, memiliki nalar logika yang baik serta bijaksana. Oleh kare¬na itu tanggung jawab pendidikan sosial ini berusaha dengan keras serta penuh dedi¬kasi untuk mempersiapkan sang anak menjadi manusia yang dapat bermanfaat dan manusia yang mampu menjawab tan-tangan kehidupannya.
Pendidikan yang tidak kalah penting adalah pendidikan seksual, yang dimaksud dengan pendidikan seksual adalah upaya pengajaran dan pendidikan tetang masalah-masalah yang berkenaan dengan seksual yang diberikan kepada anak, sejak mereka sudah mulai memahami. Pendidikan seksual yang harus mendapatkan perhatian secara khusus dari para pendidik, dilaksanakan berdasarkan fase-fase sebagai berikut :
1. Fase usia 7-10 tahun, disebut masa tamyiz (masa pra-pubertas), pada masa ini, anak diberi pelajaran tetang etika meminta izin dan memandang sesuatu.
2. Fase usia 10-14 tahun, disebut masa murahaqah (masa peralihan atau puber¬tas) pada masa ini, anak dijauhkan dari berbagai rangsangan seksual
3. Fase usia 14-16 tahun, disebut masa bulugh (masa adolesen), pada masa ini jika anak sudah siap untuk menikah, maka berikanlah pelajaran tetang etika (adab) mengadakan hubungan seksual.
4. Fase selanjutnya setelah masa adolesen, disebut masa pumuda, pada masa ini a¬nak diberi pelajaran tentang adab (etika) melakukan isti’faf (bersuci), jika memang ia belum mampu melang¬sungkan perni¬kahan.
Sangat penting diajarkan kepada anak tentang pendidikan seksual, sehingga mere¬ka tidak mempelajari masalah-masalah sek¬sual tanpa bimbingan dan arah pendidik a¬tau orang tua. Dalam ajaran agama Islam semua pendidikan hendaklah diberikan kepada anak mulai sejak dini hingga mereka mampu berdikari dan mandiri. Hingga wak¬tunya mereka menjadi manusia dewasa yang akan memahami dan mengetahui apa yang akan dilakukan dan harus dilakukan dengan baik dan benar sesuai dengan an¬juran syariat. Karena tujuan dalam pen¬di¬dikan adalah mendidik, mengarahkan, mem¬bina dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang tidak bisa menjadi bisa, dari yang tidak mengerti menjadi mengerti, dari yang tidak faham menjadi faham sehingga mereka dapat tumbuh menjadi manusia dewasa.
III. Pendidikan Untuk Pembangunan Masa Depan Bangsa
Pendidikan merupakan cara yang sangat efektif dalam pembangunan suatu bangsa, sebagaimana telah dibahas sebe¬lumnya. Pen¬¬didikan mempunyai peranan yang sa-ngat penting dan strategis, maka ber¬da¬sar-kan hal tersebut tuntunya pendi¬dikan da-lam menciptakan generasi hara¬pan bangsa hendaknya didukung penuh oleh peme-rintah selaku pemangku kebijakan dalam pembangu¬nan pendi¬dikan nasional.
Pemerintah yang mengatur dan me¬ren-canakan masa depan generasi bangsa, hen-daknya memiliki tekad yang kuat dan mem-berikan perhatian yang sangat besar pada pembangunan dan peng¬imple¬men¬tasian pro¬gram dan kebijakan dalam mendukung tujuan pendidikan nasional. Pentingnya pen¬didikan dalam suatu pembangunan bangsa maka dunia pendidikan hendaknya didukung oleh se¬mua lapisan masyarakat dengan tumpu¬an tanggung jawab utama pelaksanaan pendidikan berada pada peme¬rintah, sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada pasal 31 ayat 1.
Untuk menghasilkan generasi harapan bangsa yang sesuai dengan identitas bang-sa, tentunya membutuhkan pendi¬dikan yang kuat dan berkarakter. Ukuran keber-hasilan pembangunan suatu bangsa tidak hanya diukur pada tingginya pendapatan perkapita, tapi lebih mendasar lagi yaitu ba-gaimana keama¬nan dan kedamain dalam suatu bangsa itu dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa terke-cuali. Bagaimana karakter yang dimiliki masyarakat yang berperadaban dan ber-intelektual, sehing¬ga suatu bangsa memiliki harkat dan martabat yang tinggi dalam suatu peradaban.
Pendidikan karakter yang ditanamkan sejak usia dini, diharapkan akan mampu memberi solusi dalam kemajuan bangsa dimasa yang akan datang. Dimana pendi-dikan yang didukung oleh peme¬rintah mampu mengahasilkan manusia yang utuh (kaffah) baik secara jasmani dan rohani, mental serta spiritual, memiliki kecerdasan intelektual dan emosial yang baik, dimana semua itu termaktub dalam tujuan pen-didikan nasional. Kerjasama antara ke-mentrian, sekolah, dan masyarakat hen-daknya berjalan secara berdampingan dan selaras sehingga ada hubungan yang baik dari semua elemen terkait.
Era reformasi merupakan era yang me-miliki harapan baru untuk suatu perubahan yang lebih baik lagi dan terbuka dalam implementasi pendidikan. Lahirnya refor-ma¬si tersebut menghasilkan hak otonomi daerah yang berimbas pula pada hak oto-nomi pendidikan di suatu daerah. Peru¬ba-han ini diharapkan akan mempermudah pelayanan dan pengembangan pendidikan sesuai dengan kebutuhan suatu wilayah. Dalam mewujudkan bangsa Indonesia yang mandiri dan berdikari dengan berdaya saing tinggi, tentunya dibutuhkan rencana besar untuk anak didik. Suatu rencanan yang besar tentunya dilaksanakan secara siste¬matis dan terorganisir yang tidak lepas usaha pemerintah sebagai pemangku kebi-jakan pendidikan nasional.
Terkait dengan pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) yang mampu berdikari serta mandiri, maka dunia pendidikan harus mampu merekonstruksikan secara siste¬ma¬tis dan terorganisir dengan baik, se¬hingga pendidikan dalam rangka membangun SDM diarahkan akan mampu meningkatkan kua¬litas sumber daya Indonesia yang di tandai dengan peningkatakan Indeks Pemba¬ngu¬nan Manusia (IPM), Indeks Pembangunan Gender (IPG), meningkatkan keseimbangan penduduk dan kestabilan ekonomi.
Dalam mewujudkan harapan besar dari tujuan pendidikan nasional, terdapat ba-nyak kendala, diantaranya masih rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia yang memiliki kesadaran dan kemampuan intelektual. Akibatnya adalah terjadinya ke¬tim¬pangan outcome dari dunia pendidikan di suatu daerah dengan daerah lainnya. Ke¬senjangan ini menjadikan dunia pendidikan semakin pelik dalam menyelesaikan kele¬mahan yang ada.
Tingkat kesadaran dan tingkat inte-lektual yang dimiliki Indonesia masih belum merata diseluruh wilayah/daerah dipelosok negeri. Kemampuan untuk mampu mengu-asai dan memahami ilmu pengetahuan dan teknologi yang saat ini sudah semakin maju pun masih terdapat kendala. Tantangan pembanguanan dunia pendidikan semakin pelik dan rumit. Pendidikan karakter yang ditanamkan pada masa usia dini diharapkan akan menjawab dan memberikan solusi yang lebih bijaksana dalam memberikan keputusan.
Secara konseptual pembangunan adalah segala upaya yang dilakukan secara teren¬cana dalam melakukan perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan mening¬katkan taraf hidup masyarakat, mening¬katkan kesejahteraan dan meningkatkan kualitas masyarakat.
Dalam mengimpelementasikan peruba-han yang lebih baik dengan perbaikan taraf hidup dan kualitas manusia yang ber¬ka-rakter, memerlukan prakondisi yaitu infra-struktur, sarana dan prasarana yang semu-anya dapat memberikan pengaruh dalam mobilitas kemajuan peradaban dan per-kembangan secara nyata dalam pening¬ka-tan harkat dan martabat bangsa.
Dalam memahami terkait dengan me-ning¬katnya harkat dan martabat bangsa ditentukan oleh berbagai macam indikator yang akan sangat berhubungan, dianta-ranya adalah kemampuan dalam bidang kompetensi, prilaku positif dalam berhu-bungan dengan lingkungan alam dan ma-syrakatnya. Maka sangat dibutuhkan manu¬sia-manusia yang berkarakter untuk mem¬bangun suatu peradaban di suatu banga.
Penutup
Pembangunan suatu bangsa membu-tuhkan pendidikan yang bersinergi mulai dari lingkungan keluaraga, sekolah dan ma-syarakat. Membangun bangsa yang memi-liki identitas dan karakter yang kuat sangat membutuhkan program pendidikan yang sistematis dan terorganisir dengan baik. Pemerintah bertanggung-jawab dan memi-liki peranan yang sangat penting dalam membentuk suatu konsep pendidikan na-sional yang akan direalisasikan pada lem-baga pendidikan di seluruh Indonesia.
Pembangunan merupakan usaha yang secara terus menerus tiada henti untuk menjadikan bangsa Indonesia yang ber¬ka-rakter. Salah satu indikator suatu bangsa memiliki perkembangan adalah mening-katnya kesejahteraan masyarakat bukan hanya dari segi ekonomi namun keamanan dan kedamaian di suatu bangsa. Namun dalam membangun bangsa, terdapat ber-bagai kendala yang dihadapi, diantaranya hadirnya reformasi informasi dan komu-nikasi pada era globalisasi. Perkembangan yang begitu pesat pada era moderenisasi ini menciptakan kebebasan dalam menda-patkan pengetahuan, kebebasan tersebut akan sulit terdeteksi dengan bijak. Namun kebebasan tersebut dapat dibatasi dengan pendidikan dan moral yang baik, sehingga mampu menghasilkan masyarakat yang memiliki karakter yang baik dalam turut serta membangun masa depan bangsa.
Sebagaimana telah dipahami bersama untuk menciptakan masyarakat yang ber-karakter, bangsa ini membutuhkan kese-riusan dalam menciptakannya. Pendidikan karakter akan tercipta dengan baik mana-kala dibangun sejak masa usia dini pada generasi bangsa. []
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1997).
Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam (Kairo: Dar as-Salam li th-Thiba’ah wa an-Nasr wa al-Tauzi, 1981).
Abu Ali Ahmad al-Miskawaih (Ibn Miska¬waih), Tahzib al-Akhlaq (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1985).
Abdul Faiz, Tafsir al-qur’an al-Karim.
Ahmad Baiquni, al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan Kealaman (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1996).
Amirulloh Syarbini, Model Pendidikan Ka¬rakter dalam Keluarga (Jakarta: Gramedia, 2014).
Achmad Mubarok, Akhlak Manusia sebagai Konsep Pembangunan Karakter, (Jakarta: GMPAM YPC-WAP, 2009).
A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education), (Jakarta: Kencana, 2014).
Conny Semiawan, Perspektif Pendidikan Anak Berbakat (Jakarta: Grasindo, 1997).
Deden Saeful Ridhwan, Sebuah Tinjauan Filosofis Normatif tentang Seorang Pendidik (Istighna: Jurnal Pendi¬di¬kan dan Pemikiran, Volume 03, Nomor 01. 1 April 2010. No ISSN 1979-2824).
E. Mulyasa, Manajemen Pendidikan Ka¬rakter, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011).
Faruq Nasution, Antara Pedagogi, Edukasi dan Tarbiyah, Persamaan dan Per¬bedaan Paradigma, Jurnal Istigna, Vol.04, 2011.
Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-ali¬ran, Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UIP, 2010).
Hamka, Perkembangan dan Pemurnian Tasawuf (Jakarta: Republika, 2016).
Kamus Besar Bahasa Indonesia online
Ki Hajar Dewantara, Pendidikan (Yogjakarta: Majlis Luhur Persatuan Taman Siswa, 2011).
Louis Ma’luf, Al-Munjid fi al-Lughah (Beirut: Dar al-Masrek, 1994).
Ma’rifat Iman, dkk, Ibadah Akhlak (Jakarta: Adelina, 2002).
Mufassir Ahmad Musthafa al-Maraghi, men-jelaskan bahwa fitrah adalah kesiapan mental untuk menerima kebaikan dan Agama yang esa (tauhid), Tafsir al-Maraghi (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1974).
Muhtar Solihin, Ilmu Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2002).
Mulyadi Kartanegara, Panorama Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 2005).
Mulyadhi Kartanegara, Mozaik Khazanah Islam, Bunga Rampai dari Chicago (Jakarta: Paramadina, 2000).
Mohammad Ali, Pendidikan untuk Pembangunan Nasional, (Bandung: Imtima, 2009).
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2008).
Nurcholis Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 2008).
Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) Tahun 2017. Sebagai payung hukum dalam implementasi pendidikan karakter.
Rachmat Djatnika, Sistem Ethika Islam (Akhlak Mulia), (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1996).
Surya Chandra Surapaty, Revolusi Mental Berbasis Pancasila melalui Keluarga (Jakarta: BKKBN, 2017).
Sawitri, Teaching Your Child for Rich Future (Jakarta: Puruhita, 2009).
Thomas Lickona, Educating for Character: How Our Schools Can Resfect and Resfonsibility (New York: Bantam Books, 1992).
Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta: Negara Kesatuan Republik Indoneisa, 2004).
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam (Bandung: Mizan, 2003).
Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam, dari Metode Rasional hingga Metode Kritik (Jakarta: Erlangga, t.t).
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam (Bandung: Mizan, 2003).
Yusuf Muhammad al-Hasan, al-Wajiz fi al-Tarbiyah (Dammam: Dar az-Zkha’ir, 2012).
Zaim Elmubarok, Membumikan Pendidikan Nilai, (Bandung: Alfabeta, 2008).