Pendidikan di Pesantren; Memetaulang Arah Tujuan Pendidikan Kita dan Implikasinya
Mukaddimah
Sebagai anak pesantren dididik di pesantren kemudian mengabdi sebagai pendidik di pesantren sangat wajar penulis sangat fanatik dengan pesantren dengan segala sistem dan isinya. Penulis kesulitan melihat pesantren dengan kacamata objektif, apalagi seringkali penulis berhadapan dengan insan-insan yang sering melihat pesantren dengan frame yang merendahkan. Namun seiring berjalannya waktu, dengan sering berdiskusi dengan berbagai kalangan, dan dengan mencoba lebih terbuka, penulis sedikit demi sedikit membangun pandangan yang barangkali sudah mengalami berbagai perubahan dari pandangan semula. Apa yang penulis sampaikan dalam tulisan ini semoga mewakili dua segmen penting dalam diri penulis, pertama segmen fanatisme sebagai anak pesantren dan kedua segmen keinginan tulus menyumbangkan sedikit hal dari sedikit kontemplasi tentang pendidikan pesantren.
Pesantren di Indonesia menempati posisi yang cukup signifikan dalam pendidikan nasional. Dari segi kuantitas, pendataan pesantren oleh Ditjen Pendis tahun 2011-2012 berhasil mendata 27.230 pondok pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia. Jumlah terbesar berada di Pulau Jawa, yakni 78,60 % dari jumlah seluruh pesantren yang ada. Dari segi kualitas, pesantren hingga saat ini masih menjadi tumpuan banyak kalangan dalam mencetak tokoh-tokoh agama, hal yang menjadikan pesantren terus eksis di tengah banyaknya tantangan pendidikan di era modern. Membincang pesantren dengan demikian tidak saja menelaah diri sendiri, akan tetapi juga merenungkan pendidikan nasional secara umum.
Membincang pesantren juga berarti mengikuti sunnah kehidupan, bahwa segala sesuatu pasti mengalami perubahan. Yang tak berubah hanya Allah SWT. Berfikir tentang perubahan berarti mengendalikan perubahan itu sendiri serta menjalaninya dengan penuh sadar dan perencanaan yang matang. Pendidikan Islam berjalan secara dinamis sejak era Nabi Muhammad SAW. hingga sekarang. Di era Nabi, tak ada pemetaan mata pelajaran dan kurikulum ke dalam fan-fan seperti yang terjadi pada era-era setelahnya. Pemetaan keilmuan ke dalam fan fikih, fan nahwu-sharaf, fan tauhid, fan falsafat-tasawwuf, dan fan-fan lainnya baru berkembang beberapa abad berikutnya. Demikian pula dengan sistem pembelajaran, ia berkembang dari murni halaqah, lalu zawaya dan katatib, diikuti kemudian dengan sistem ijazah yang mengerucut ke dalam sistem madrasah dan universitas.
Data-data yang ada dalam tulisan ini diambil dari penelitian Kemenag RI yang dipublikasikan dalam websitenya, juga pengamatan-pengamatan dan pengalaman pribadi sebagai insan yang hidup di tengah pesantren, yang meski tidak mendalam dan menyeluruh akan tetapi semoga tidak jauh dari kenyataan sesungguhnya. Pengalaman di sini memasukkan informasi-informasi yang didapat dari diskusi-diskusi baik formal maupun non-formal yang sering penulis lakukan sebagai insan yang berkhidmah dan bahkan menghirup udara sehari-sehari dalam dunia pesantren. Beberapa di antaranya dengan demikian masih merupakan asumsi-asumsi, akan tetapi asumsi-asumsi ini tetap perlu dikemukakan karena tampaknya didukung oleh sejumlah indikator-indikator.
Arah dan Tujuan Pendidikan
Dalam melihat pendidikan pesantren, seperti tampak dalam judul tulisan ini, penulis pada kesempatan ini berpijak pada teori bahwa salah satu elemen penting dalam pendidikan adalah penetapan arah dan tujuan. Maksud dari tujuan adalah ujung perjalanan yang menjadi titik pusat di mana seluruh proses pengajaran dan pendidikan mengarah ke sana, baik ujung terdekat atau ujung terjauh. Tujuan pendidikan sangat berpengaruh terhadap sejumlah hal: a. penyesuaian dan penentuan kurikulum; b. penyesuaian dan penentuan motode pegajaran, sarana dan prasarana ajar, dan gaya pengajaran; c. pengarahan serta pembimbingan terhadap perilaku santri.
Tujuan pendidikan yang terinternalisasi oleh peserta didik juga akan melahirkan rasa suka cita pada diri peserta didik saat ia merasakan semakin mendekatnya tujuan yang ia cita-citakan. Searah dengan ini, tujuan yang terinternalisasi tersebut juga mampu membantu menjauhkan dia dari kesenangan semu duniawi dan hal-ihwal sepele yang sering menjadi perhatian mereka yang tidak memiliki cita-cita dan tujuan luhur.
Dalam hal pendidikan Islam, termasuk pendidikan pesantren, tujuan pendidikan bersumber dari: a. Wahyu Allah, yakni Al-Qur’an dan Hadis; b. Akidah Ahlussunnah wal Jamaah; c. masyarakat: kebutuhan-kebutuhannya, tuntutan-tuntutannya, situasi-situasinya, dan kondisi-kondisinya yang terus mengalami perubahan; d. perindividu peserta didik yang berbeda antara satu dengan lainnya, dan yang memiliki kemampuan dan keistimewaan yang beragam. Pendidikan yang baik sangat serius memperhatikan potensi dan keterbatasan masing-masing peserta didik, baik dalam tinjauan personal maupun tinjauan sosial. Hal demikain karena hakikat pendidikan adalah proses sadar dalam rangka mengantarkan seseorang kepada kesempurnaannya, dengan cara selangkah demi selangkah, sesuai dengan potensi dasar yang dititipkan kepadanya.
Dari pemaparan demikian, berhak diajukan pertanyaan: apa tujuan dari pendidikan pesantren kita? Apakah tujuan tersebut sudah sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat dewasa ini? Apakah langakah-langkah yang ditempuh sudah sesuai dengan tujuan yang telah dicanangkan?
Pesantren Salaf
Pesantren berasal dari kata santri, dengan awalan pe dan akhiran an, yang berarti tempat tinggal para santri. Pondok kemungkin berasal dari kata Arab funduq yang berarti tempat menginap. Santri boleh jadi berasal dari kata shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci Agama Hindu. Shastri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan. Boleh jadi pula santri diambil dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji. Kemungkinan lain adalah santri berasal dari kata cantrik yang berarti para pembantu begawan atau resi, seorang cantrik diberi imbalam berupa ilmu pengetahuan oleh sang resi atau begawan tersebut.
Satu hal yang dapat kita pastikan, bahwa pesantren adalah model pendidikan keagamaan khas nusantara, terlepas dari perbedaan pendapat tentang asal-usul kata santri. Tradisi pesantren dengan demikian beriringan dengan masa-masa awal masuknya Islam di Indonesia itu sendiri. Belakangan, pesantren sering didefinisikan dengan sistem pembelajaran dengan lima elemen dasar, yakni pondok, masjid, santri, pengajaran kitab Islam klasik, dan kyai. (Zamakhsyri Dhofier, Tradisi Pesantren) Tentu saja ini adalah hasil pengamatan setelah tradisi pesantren menjadi mapan seperti sekarang ini. Pada kenyataannya, seseorang yang telah mengaji kepada seorang kyai layak disebut sebagai santri meski tidak menempati asrama yang disediakan. Sejumlah pondok juga tidak ada masjid di dalamnya. Bahkan sejumlah kyai hanya memiliki surau, dan murid-muridnya tetap disebut sebagai santri. Definisi di atas menjadi mapan tampaknya karena pemerintah membutuhkan kriteria yang jelas demi kepentingan-kepentingan administratif. Pengelompokan masyarakat ke dalam santri-abangan tentu tidak merujuk kepada kriteria pesantren dengan lima elemen dasar ini.
Telah disebutkan di muka, jumlah pesantren sesuai data yang diperoleh Kemenag RI tahun 2011-2012 adalah 27.230, 78,60 % di antaranya berada di Jawa. Adapun Perinciannya adalah sebagai berikut: Jawa Barat 7.624 (28,00%), Jawa Timur 6.003 (22,05%), Jawa Tengah 4.276 (15,70%), dan Banten 3.500 (12,85%). Dari seluruh Pondok Pesantren yang ada, berdasarkan tipologi Pondok Pesantren, terdapat sebanyak 14.459 (53,10%) Pondok Pesantren Salafiyah, dan 7.727 (28,38%) Khalafiyah/Ashriyah, serta 5.044 (18,52%) sebagai Pondok Pesantren Kombinasi.
Jumlah santri secara keseluruhan adalah 3.759.198, terdiri dari 1.886.748 santri laki-laki (50,19%), dan 1.872.450 santri perempuan. Jumlah santri ini jika dipetakan berdasarkan kategori belajar maka hasilnya sebagai berikut: 1.540.839 santri (40,99%) belajar di madrasah, dengan jumlah santri 757.114 (49,14%) berjenis kelamin laki-laki, dan 783.725 (50,86%) berjenis kelamin perempuan. Santri yang belajar di Sekolah Umum sebanyak 395.732 santri (10,53%), dengan jumlah 189.136 (47,79%) berjenis kelamin laki-laki, dan 206.596 (52,21%) berjenis kelamin perempuan. Santri yang belajar di Perguruan Tinggi sebanyak 14.385 santri (0,38%), dengan jumlah 6.483 (45,07%) berjenis kelamin laki-laki, dan 7.902 (54,93%) berjenis kelamin perempuan. Santri yang belajar Diniyah sebanyak 78.572 santri (2,09%), dengan jumlah 40.837 (51,97%) berjenis kelamin laki-laki, dan 37.735 (48,03%) berjenis kelamin perempuan. Santri yang belajar Kitab Kuning (hanya ngaji) sebanyak 1.729.670 santri (46,01%), dengan jumlah 893.178 (51,64%) berjenis kelamin laki-laki, dan 836.492 (48,36%) berjenis kelamin perempuan.
Data tersebut memperlihatkan bahwa separuh lebih dari santri yang belajar di pesantren mengikuti pendidikan formal baik di madrasah, sekolah umum, maupun perguruan tinggi (53,99%), sedangkan yang belajar dengan konsentrasi penuh kepada pengajian kitab kuning adalah 46,01%. Sementara bila dilihat dari Angka Partisipasi Kasar (APK), pondok pesantren berkontribusi 7,18% dari APK nasional terhadap anak usia sekolah. APK pondok pesantren terbesar disumbangkan oleh Jawa Timur 15,63%, Aceh 15,23%, NTB 14,98% dan Banten 13,30%. Sedangkan untuk APK terkecil disumbangkan oleh Nusa Tenggara Timur 0,16%, Maluku 0,40%, Sulawesi Utara 0,54%, dan Papua 0,54%.
Fokus dalam tulisan ini dititik-beratkan kepada pesantren salafiyah, yakni pesantren dengan sistem pembelajaran yang masih murni mengaji dan mengkaji kitab kuning. Sesuai data di atas, jumlah pesantren salafiyah adalah 14.459 (53,10%) dengan jumlah santri 1.729.670 (46,01%), 893.178 (51,64%) di antaranya adalah santri laki-laki, dan 836.492 (48,36%) santri perempuan. Ini adalah jumlah yang tidak bisa dianggap kecil. Dari jumlah ini, akan lahir tokoh-tokoh masyarakat di tempatnya masing-masing. Kita punya kewajiban untuk memikirkan mereka, tidak saja karena kita adalah bagian dari mereka namun juga karena demikian ini adalah bagian dari kewajiban berfikir tentang masa depan bangsa ini.
Pesantren salafiyah diketahui, dan diakui hampir seluruh elemen masyarakat, telah melahirkan banyak tokoh nasional, baik pada era Islam Klasik Nusantara, masa pendudukan Belanda, dan masa setelah kemerdekaan. Kyai-kyai besar seperti Hadhratusysyaikh Hasyim Asy’ari, KH. Faqih Maskumambang, dan KH. Ihsan Jampes adalah produk pesantren. Memang harus disampaikan bahwa kyai-kyai besar ini selain belajar di pesantren Nusantara juga memperdalam keilmuannya di tempat lain di Timur Tengah, akan tetapi sejumlah tokoh seperti seperti KH. Abil Fadhal Senori—yang menghasilkan karya-karya berbahasa Arab dan banyak diantaranya diterbitkan di Arab—belajar murni di pesantren-pesantren lokal, hal yang menunjukkan bahwa pesantren benar-benar mampu mencetak tokoh-tokoh nasional. Pertanyaannya, apakah pesantren-pesantren yang sama masih mampu mencetak tokoh-tokoh nasional dengan kualitas dan kuantitas yang sama? Untuk menjawab ini, seperti disampaikan sebelumnya, penulis akan menggunakan pertanyaan demikian: Apa tujuan besar Pesantren Salaf? Titik akhir dari pendidikan Pesantren Salaf ingin melahirkan tokoh seperti apa?
Tujuan Pendidikan Pesantren Salaf
Berdasasrkan sumber-sumber tujuan pendidikan Islam di atas, dapat disampaikan bahwa tujuan pendidikan Islam Sunni, termasuk di dalamnya adalah pendidikan Pesantren Salaf, secara umum adalah:
a. Implementasi makna “ubudiyah” dalam diri tiap anak didik. Apapun keilmuan yang digeluti peserta didik harus diniati dan diselenggarakan dalam rangka beribadah kepada Allah SWT. Firman Allah dalam QS. Adz-Dzaariyaat/ 51:56: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” harus dimaknai lebih umum, tidak sekedar ibadah mahdhah seperti salat dan haji. Ubudiyah yang dimaksud di sini adalah segalam amal baik yang dicintai dan diridhai Allah SWT., dan dilaksanakan berdasarkan penghambaan kepadaNya. Tak diragukan, Pesantren Salaf telah membimbing dengan sangat baik santri-santrinya menginternalisasi tujuan pendidikan ini. Hampir setiap momen mereka selalu diingatkan akan hal tersebut. Tak ada yang lebih hadir dalam diri santri ketimbang nilai-nilai keikhlasan. Hal yang perlu ditekankan lebih adalah bahwa hal-hal di luar keilmuan Islam dan ibadah-ibadah mahdhah hakikatnya adalah bagian dari ibadah jika diselenggarakan dengan benar dan sesuati tuntunan Islam.
b. Menanamkan akidah sunni dengan penuh percaya diri. Sebagai pendidikan berbasis Islam Sunni, sudah seharusnya penguatan akidah Sunni menjadi salah satu prioritas. Menanampakan akidah sunni dari satu lembaga ke lembaga lain tentu sangat berbeda, baik kedalaman maupun intensitasnya. Pondok Salafiyah dalam hal ini tentu membutuhkan pembelajaran yang lebih dari pendidikan lain. Pondok Salafiyah tidak saja dikenal sebagai pendidikan Sunni, akan tetapi dianggap sebagai benteng terakhir Sunni di Indonesia. Hilangnya Pondok Salafiyah di Indonesia bisa berarti hilangnya benteng Sunni di Nusantara. Apakah kurikulum akidah yang sekarang diterapkan di pesantren-pesantren Salafiyah telah memenuhi tuntutan label pondok yang sangat gagah: benteng Sunni?
C. Intermalisasi akidah-tasawuf dalam sudut-sudut pesantren. Problem yang mendasar dalam pembelajaran akidah adalah korelasi antara akidah dan perilaku keseharian. Penanaman akidah tidak hanya dimaksudkan sebagai hafalan hafalan atas diktum-diktum teologis, akan tetapi juga dimaksudkan–dan ini yang lebih utama–sebagai basis pembentukan karakter yang kuat. Dalam hal ini, pendidikan tasawuf sejak dini diperhatikan betul dalam pendidikan pesantren. Karakter pesantren oleh kqrenanya banyak dibentuk melalui pendidikan-pendidikan tasawwuf. Ada sejumlah buku penting yang membentuk karakter santri-santri. Diantaranya: Sullam at-Tawfiq, buku tentang pedoman hidup yang sangat ketat. Buku ini diajarkan sejak kelas V ibtidaiyyah; al-Akhlaq lil Banin dan al-Akhlaq lil Banat, sebuah buku tentang pedoman etika seorang pelajar pemula; Ta’lim al-Mutaallim, buku yang sangat masyhur sebagai pedoman bagi seorang pelajar agar memperoleh keberkahan ilmu. Buku ini tidak diajarkan di kelas, akan tetapi hampir semua santri pernah mengajinya; Irsyadul Ibad, buku tasawwuf penting bagi mereka yang serius menjalani kehidupan agar bisa wushul kepada Allah SWT. Buku ini diajarkan pada tingkat aliyah kelas dua dan tiga.
D. Prilaku sufistik. Sebelum berubah menjadi ma’had, pesantren lebih lazim disebut sebagai ribath. Pesantren di sini tidak dimaksudkan sebagai lembaga pendidikan di Indonesia saja akan tetapi lembaga pendidikan yang lebih luas mencakup pendidikan Islam di negeri-negeri Islam. Nama ribath masih lazim digunakan untuk lembaga sejenia di Makkah, salah satu kota yang menjadi kiblat pendidikan Islam salaf. Ribath adalah tempat pemondokan bagi para sufi untuk kegiatan membersihkan diri, biasanya ditempati oleh para faqir. Dari penamaan ini bisa diambil garis umum bahwa pesantren cenderung menerapkan gaya sosial sufi bagi para faqir dalam rangka riyadhah atau penggemblengan diri untuk mencapai kematangan spiritual. Berbagai peraturan seperti kewajiban hidup bersahaja bahkan cenderung memperberat diri, tidak membatasi jumlah siswa, penghormatan yang luar biasa kepada guru dan lain sebagainya. Pengaruh ribath dalam kehidupan pesantren sangat besar dalam membentuk karakter santri-santrinya.
Sepuluh Karakter Positif dan Pendidikan Pesantren
Dalam dunia pendidikan modern sering disampaikan pentingnya sepuluh karakter pokok. Pertama kebijaksanaan, yaitu perrimbangan yang baik. Kebijaksanaan memungkinkan seseorang membuat keputusan-keputusan masuk akal yang baik bagi dia dan orang lain. Kedua adalah keadilan. Keadilan berarti menghargai hak semua orang. Keadilan mengarahkan seseorang untuk memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan. Ini yang disebut dengan kaidah kencana. Ketiga adalah ketabahan. Ketabahan memungkinkan seseorang bertahan dalam kebenaran meski sukar dan berat. Keempat adalah pengendalian diri.